Terima Diri Anda

Pengakuan atas nilai diri anda yang sebenarnya adalah faktor penting lainnya untuk membangun keyakinan diri.

Fakta kehidupan menunjukkan bahwa Anda tidak akan pernah bisa "lebih baik" dibanding rasa percaya diri anda; yaitu, bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain, menurut tingkat penerimaan diri anda. 

Perasaan ini pada dasarnya tidak disadari dan telah diprogram ke dalam pikiran bawah sadar anda semenjak kanak-kanak.

Rasa percaya diri yang positif bukanlah penerimaan diri secara intelektual akan bakat atau pencapaian seseorang. Melain penerimaan diri secara personal.

Meningkatkan rasa percaya diri itu bukanlah sebuah perjalanan ego. Anda tidak sedang jauh cinta pada diri sendiri dalam sebuah rasa yang egois.

Anda hanya menyadari bahwa diri anda benar-benar individu yang unik dan berharga; seseorang yang merasa tidak perlu mengesankan orang lain dengan cara memamerkan pencapaian atau harta bendanya.

Malah sebenarnya, orang yang selalu membual dan menyombongkan diri itulah yang sedang mengalami salah satu gejala klasik dari rasa percaya diri yang kurang.

Dipermukaan, banyak orang yang tampaknya memiliki rasa percaya diri yang positif atau tinggi. Padahal sebenarnya tidak.

Salah satu tragedi terbesar di masa sekarang ini menyangkut para pemimpin, guru, penemu, seniman, dan orang-orang yang telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kemanusiaan, namun menjadi korban dari rasa percaya dirinya yang rendah.

Sebagian dari orang-orang yang paling dikagumi dalam sejarah telah menjadi pecandu narkotik, alkohol, dan bahkan melakukan bunuh diri hanya untuk melarikan diri dari dirinya sendiri yang tidak pernah bisa mereka terima dan berkembang menjadi kebencian.

Mengembangkan rasa percaya diri yang positif itu bukan cuma tentang membuat diri anda bahagia, ini adalah pondasi dimana anda harus membangun seluruh kehidupan anda. Jika anda pernah berharap untuk bebas menciptakan kehidupan yang anda hasratkan, berarti ini adalah sebuah tugas yang harus dilakukan dengan serius.

Jika anda tidak melakukannya, maka anda cuma bisa berharap kurangnya rasa percaya diri anda tidak semakin memburuk saat anda semakin dewasa sampai akhirnya anda menjadi bagian dari kelompok orang yang tidak bahagia, atau bahkan melakukan bunuh diri.

Salah satu cara terbaik untuk meningkatkan rasa percaya diri adalah dengan mengetahui bagaimana rasa percaya diri yang rendah itu terjadi dan bagaimana itu menampakkan dirinya pada orang lain. Baru kemudian anda akan mampu melihat apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan level rasa percaya diri.

Pada Awalnya

Ada tiga penyebab utama dari kurangnya rasa percaya diri:

  • Yang pertama adalah serangkaian konsep, kepercayaan, dan nilai-nilai yang merendahkan diri sendiri, yang anda terima dari orang tua anda.
  • Yang kedua adalah serangkaian konsep dan analisis misalnya penempatan kejuruan dan test IQ yang keliru dan menyimpang, yang terima dari para guru selama bersekolah.
  • Yang ketiga berakar dari pengkondisian religius negatif yang memberikan penekanan berlebihan pada rasa bersalah dan tidak berharga.

Meski ada banyak faktor lain yang berkontribusi terhadap rasa percaya diri yang rendah, namun ketiga faktor diatas adalah yang paling penting.  Dan tips kali ini akan membahas faktor yang pertama.

Sejauh ini, satu faktor yang paling berkontribusi terhadap rasa percaya diri kita yang rendah adalah kurangnya rasa percaya diri dari orang tua kita. Itu benar, terutama dari ibu kita, orang yang biasanya paling dekat dan paling banyak menghabiskan waktu dengan kita.

Karena orang dewasa itu umumnnya beroperasi dibawah konsep-konsep, nilai, dan kepercayaan yang keliru, maka semua itu diturunkan kepada anak-anaknya melalui sikap, aksi dan reaksi mereka, seperti penyakit yang menular.

Jika orang tua kita merasa tidak mampu dan imperior, kita, sebagai anak-anaknya, akan merasa tidak berharga dan, sebagai akibatnya, tidak mampu untuk mengatasi masalah disekolah, bahkan yang paling sederhana sekalipun.

Itu artinya, berbagai asumsi "keliru" dari orang tua kita menjadi "fakta-fakta" dari keberadaan kita. Penjelasan berikut ini akan membantu anda untuk melihat mengapa hal ini terjadi.

Dari saat anda dilahirkan sampai berusia sekitar 5 tahun, otak anda berkembang dengan sangat cepat. Periode perkembangan yang pesat ini oleh para psycholog disebut sebagai “imprint period.”

Selama masa ini, otak anda menerima kesan-kesan penting dan permanen, yang membantu pembentukan tingkah pola anda.

Nah, dari situ anda segera bisa melihat bahwa jika salah satu atau kedua orang tua menderita rasa percaya diri yang kurang selama masa ini, betapa mudahnya hal itu mungkin akan diserap oleh pikiran anak-anak yang masih sangat mudah untuk dipengaruhi.

Rasa percaya diri yang rendah dimulai saat anda membuat kesalahan pertama dan di cap sebagai "anak nakal." Anda salah mengartikan hal ini dan merasa bahwa anda "nakal" saat, dalam realitasnya, hanya aksi-aksi anda yang "nakal."

Fakta yang sebenarnya dalam masalah ini adalah bahwa tidak ada yang namanya "anak nakal." Satu-satunya penyebab dari tingkah laku "nakal" dari setiap anak adalah karena kurangnya kesadaran mereka terhadap apa-apa yang memberikan hasil positif.

Memang benar, ada hal-hal tertentu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh anak-anak, hal-hal dimana aksi kedisplinan akan diperlukan. Tapi hal-hal ini, pada diri mereka sendiri, tidak pernah membuat anak tersebut menjadi "nakal."

Dengan mengatakan pada anda bahwa anda adalah seorang "anak nakal," berarti anda di identikkan dengan tingkah laku anda, dan bukan hanya tingkah laku anda yang saat itu anda pilih untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anda yang dominant.

Jika anak tersebut tidak memahami hal ini dan percaya bahwa pada dasarnya dia adalah seorang anak yang nakal, maka dia akan mengembangkan perasaan tidak berharga dan rendah diri, yang akan diprogram ke dalam pikiran bawah sadarnya.

Perasaan ini akan mewujudkan dirinya dalam bentuk rasa malu, mengutuk diri, menyesal, dan yang terburuk dari semuanya, rasa bersalah.

Rasa percaya diri yang rendah atau negatif itu akan berkembang lebih lanjut melalui kebiasaan suka merendahkan diri dengan cara membanding-bandingkan.

Saat orang tua membandingkan seorang anak dengan kakak, adik, atau terutama, seseorang diluar lingkungan keluarganya, maka perasaan rendah diri pada anak tersebut semakin memburuk.

Hingga dia sampai pada keputusan untuk menerima kelemahannya tersebut sebagai bagian dari dirinya, dimana dia selalu membandingkan diri dengan anak-anak lain seusianya yang dia kagumi.

Percaya bahwa mereka telah diberkahi dengan kekuatan, kemampuan, populeritas, dan keyakinan diri yang jauh lebih banyak dibanding dirinya, sehingga rasa rendah diri yang merusak itu telah menguasai dirinya.

Jika orang tua mau menahan kritikan dan menggantinya dengan kalimat-kalimat yang memberikan dorongan misalnya, "Kamu terlalu baik untuk melakukan hal seperti itu," maka jenis pemrograman negatif seperti diatas umumnya bisa dicegah.

Kurangnya pengakuan atau penghargaan terhadap keunikan anak-anak adalah kekeliruan para orang tua berikutnya. Orang tua umumnya kurang menghargai perasaan, hasrat, dan opini anak-anaknya,  menolak mereka dengan kata-kata misalnya, "Anak-anak tahu apa!" dan "Orang tua jauh lebih tahu!"

Seringkali, para orang tua menganggap ketidak-setujuan sebagai penghinaan atau ketidak-hormatan terhadap diri mereka. Para psycholog terkemuka sepakat bahwa sikap ini adalah akibat dari kurangnya rasa percaya diri dari para orang tua yang mewujudkan diri dalam bentuk kebutuhan untuk selalu merasa benar.

Adalah sebuah fakta yang mengganggu bahwa sejumlah besar orang tua mengarahkan kehidupan mereka melalui anak-anaknya. Mereka memutuskan bahwa anak-anaknya harus menjadi semua yang dulu mereka cita-citakan, dengan memaksakan anak-anak diatas kemampuannya.

Mereka ingin mimpi-mimpinya yang tidak terwujud menjadi kenyataan melalui anak-anaknya. Tentu, ini dilakukan dengan mengorbankan sang anak.

Apa yang tidak disadari oleh para orang tua yang seperti itu adalah bahwa anak tersebut tidak mampu memenuhi standard mereka yang sangat tinggi karena dia belum mengembangkan atau bahkan belum memiliki kepasitas emosi, mental, atau fisik untuk melakukannya.

Penampilan fisik, yang pengaruhnya jauh lebih besar dari yang disadari, adalah juga salah satu penyebab utama dari kurangnya rasa percaya diri. Sejumlah anak menderita secara fisik, mental, dan emosional karena penampilan fisik yang tidak biasa atau normal.

Dengan terus menerus memusatkan perhatian mereka akan hal tersebut dan mengatakan pada mereka bahwa mereka "terlalu gendut," "terlalu tinggi," "terlalu lambat," dan lain-lain, maka mereka akan mengembangkan perasaan rendah diri yang sulit untuk diatasi.

Sebagian orang tua lainnya terlalu memandang tinggi terhadap uang dan harta. Anak-anak di identifikasikan dengan ini dan terpenjara oleh sebuah gaya hidup materialistis, yang menuntut mereka agar berjuang dan berusaha keras untuk kesuksesan materi.

Hingga dikemudian hari, dalam kehidupannya, sang anak seringkali menikah karena uang, dan harus membayar dengan harga yang sangat tinggi atas apa yang mereka dapat.

Jika penilaian yang tinggi ditempatkan pada uang dan harta, maka adalah hal yang tidak biasa bagi anak untuk tumbuh dengan menghabiskan uang yang tidak dimilikinya, untuk membeli berbagai hal yang tidak dibutuhkannya, agar bisa mengesankan orang yang tidak dia kenal.

Sama seperti materialisme yang merusak persepsi sang anak terhadap nilai diri yang sesungguhnya, dia jadi bertekad untuk menjalani kehidupan yang mengejar kekayaan hanya untuk menutupi rasa percaya dirinya yang rendah.

Tips sebelumnya menjelaskan bagaimana para orang tua umumnya lalai untuk mengembangkan kepercayaan diri pada para keterunannya. Orang tua yang terlalu keras, terlalu bebas, atau terlalu posesif, mereka itulah yang biasanya mengubah anak-anaknya menjadi pincang secara emosional.

Karena sangat kekurangan motivasi yang diperlukan untuk menghadapi berbagai situasi kehidupan dengan penuh keyakinan diri dan ketenangan, anak-anak jadi menunda dan mengambil jalan yang paling sedikit pertentangannya.

Kurangnya kepercayaan diri memperburuk perasaan tidak mampu, yang akhirnya juga membentuk dasar dari rasa percaya diri yang rendah.

Berbeda dengan kepercayaan umum, membesarkan anak melalui sistem yang sebagian besar berlandaskan pada hadiah dan hukuman itu dijamin akan mengakibatkan rasa percaya diri yang rendah.

Anak-anak harus di ijinkan untuk membuat kesalahan yang diperlukan agar mereka bisa belajar dari kesalahan tersebut tanpa perlu merasa takut akan hukuman.

Begitu dia sudah bisa mengambil pelajaran dari kesalahannya tersebut, maka biasanya, dia tidak akan pernah lagi mengulanginya. Dia akan tahu bahwa, apapun yang dia lakukan, dia sendiri yang akan mendapat nikmatnya atau menderita akibat kesalahannya. Semakin cepat dia menyadari ini, semakin baik!

Aspek paling merusak dari rasa percaya diri yang rendah adalah bahwa kita mewariskannya dari satu generasi ke generasi. Berbagai penelitian secara tragis telah menunjukkan bahwa kebiasaan bunuh diri itu menurun dalam garis keturunan.

Setelah apa yang baru saja anda baca, hal ini seharusnya tidak lagi membuat anda terkejut. Sebab sangat mudah untuk melihat bahwa, jika rasa percaya diri yang rendah itu diwariskan, maka dalam beberapa kasus, akibatnya bisa sangat fatal.

Selain meracuni anak-anak kita dengan rasa percaya diri yang rendah, kita juga cenderung untuk meracuni siapapun yang berhubungan dengan kita.

Jika kita berada dalam sebuah posisi untuk mempengaruhi orang lain, misalnya guru atau pemimpin, maka kita bisa menularkan penyakit ini pada mereka yang memandang kita untuk mendapat kepemimpinan atau inspirasi.

Secara tidak disengaja, mereka akan merasakan rendahnya rasa percaya dan penilaian diri kita, serta mulai mengambil bagian dalam apa yang mereka indentikkan dan hubungkan dengan kita.

Rasa percaya diri yang kurang itu punya banyak bentuk atau kecanduannya. Ini bisa digambarkan sebagai cara atau kebiasaan yang kita kembangkan untuk berlari dari berbagai tuntutan hidup sehari-hari. Mereka menjadi alibi yang mengijinkan kita untuk sejenak menghindar dari keharusan menghadapi realitas diri.

Kecanduan terparah yang kita pilih adalah berhubungan langung dengan perasaan tidak mampu dan takut kita akan keharusan untuk menilai apa dan siapa diri kita. Orang yang kecanduan menggunakan alibinya untuk menutupi rasa percaya dirinya yang rendah yang dia tidak ingin diketahui oleh orang lain.

Kecanduan Utama dari Orang yang Kurang Percaya Diri

1. Menyalahkan dan Mengeluh

Kita menyalahkan orang lain dan mengeluh pada dan mengenai mereka kerena kita menolak untuk menerima fakta bahwa sebenarnya kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada diri kita.

Memang lebih mudah untuk menyalahkan orang lain dibanding mengatakan, "Masalahnya ada pada diriku" atau, "Diriku lah yang harus berubah." Orang yang hobinya mengeluh dan menyalahkan orang lain itu sebenarnya merasa tidak mampu, lalu mencoba meningkatkan harga dirinya dengan cara merendahkan orang lain.

2. Mencari Kesalahan

Kita mencari kesalahan orang lain karena mereka tidak mau menerima atau menentang nilai-nilai yang kita tetapkan untuk diri sendiri. Kita ingin menutupi perasaan tidak mampu kita dengan cara mencoba membuat diri kita menjadi benar dan membuat mereka menjadi salah.

Coba perhatikan bahwa seringkali kita tidak menyukai saat mereka melakukan hal-hal yang paling tidak kita sukai dari diri sendiri. Akibatnya, saat kita menemukan kesalahan dalam aksi-aksi mereka, kita mengatakan, "Aku tidak suka diri ku melakukan itu, dan aku tidak akan membiarkan mu melakukannya."

Secara psychologis itu memang benar bahwa kita cenderung tidak menyukai kelemahan atau kesalahan orang lain yang kita miliki juga di dalam diri sendiri.

3. Membutuhkan Perhatian dan Persetujuan

Banyak orang yang merasa sangat butuh perhatian dan persetujuan. Mereka tidak bisa mengakui dan menghargai diri sendiri sebagai seseorang yang berharga dan mampu. Mereka sangat butuh untuk selalu dikonfirmasi bahwa mereka "OK," dan bahwa orang lain menerima serta menyetujui mereka.

4. Tidak Punya Teman Dekat

Orang yang tidak percaya diri itu biasanya tidak mempunyai teman-teman dekat.

Karena mereka sendiri tidak menyukai dirinya, maka mereka biasanya memilih untuk hidup menyendiri atau terpisah dari orang lain, atau menunjukkan sikap bermusuhan dan menjadi aggresif, ingin menang sendiri, mengkritik dan menuntut.

Tidak satupun dari jenis kepribadian ini yang kondusif untuk persahabatan.

5. Aggresif Merasa Perlu untuk Menang

Jika kita punya obsesi untuk selalu merasa menang atau benar, berarti kita menderita suatu penyakit yang membuat kita merasa sangat perlu untuk membuktikan diri pada orang disekitar.

Kita mencoba melakukannya melalui pencapaian-pencapaian kita. Motivasi kita selalu adalah untuk merasa diterima atau disetujui. Tujuannya utamanya adalah untuk menjadi "lebih baik" dari orang lain.

6. Sangat Mencandu

Orang yang "tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri" karena tidak menyukai apa adanya diri mereka, biasanya mencoba untuk memuaskan kebutuhannya melalui sebuah bentuk kompensasi.

Karena merasa sangat kekurangan dan menderita, mereka mencari "candu" fisik maupun mental untuk mengurangi rasa sakit. Mereka mengobati dirinya dengan makanan, obat-obatan, alcohol, rokok, atau mendapat pemuasan sensual yang temporer. Secara temporer, ini membuat mereka bisa menutupi penderitaan emosional dan rasa percaya diri yang rendah.

Sangat mencandu adalah untuk mengkompensasi perasaan ditolak. Secara temporer itu memberikan mereka penangguhan dari keharusan untuk menghadapi realitas dan perkembangan yang diperlukan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan mereka.

7. Depresi

Kita menjadi depresi karena kita mengira sesuatu diluar diri kita lah yang menghambat kita dari mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita menjadi sangat kecewa terhadap diri sendiri karena kita merasa tidak berdaya, tidak mampu dan tidak berharga.

Rasa frustasi dan risau dalam mencoba untuk hidup diatas pengharapan kita sendiri dan orang lain menyebabkan kita menjadi kurang percaya diri.

8. Serakah dan Egois

Orang menjadi serakah dan egois karena dia merasa sangat kekurangan. Dia terjebak dalam kebutuhan dan hasratnya sendiri yang harus dipenuhi dengan cara apapun karena kurangnya penghargaan terhadap diri sendiri.

Mereka jarang punya waktu atau ketertarikan untuk menjadi perhatian terhadap orang lain, bahkan terhadap orang-orang yang dicintainya.

9. Tidak Punya Pendirian dan Menunda

Rasa percaya diri yang rendah seringkali ditemani dengan rasa takut yang berlebihan terhadap kekeliruan. Karena takut bahwa dia mungkin tidak melakukan apa yang "seharusnya" dia atau orang lain ingin dia lakukan, biasanya dia tidak melakukan apapun, atau, setidaknya, menunda untuk melakukan apapun selama mungkin.

Dia enggan untuk membuat keputusan karena merasa bahwa dia tidak mampu untuk membuat keputusan yang "benar." Jadi, dia tidak melakukan apapun, dia tidak bisa membuat kesalahan.

Jenis lain dari orang yang termasuk dalam kategori ini adalah orang yang perfeksionis. Dia memiliki pola kepribadian yang serupa, hanya saja dia selalu merasa perlu untuk menjadi "benar."

Karena pada dasarnya merasa tidak aman, dia bermaksud untuk menghindari kritikan. Dengan cara ini, dia bisa merasa "lebih baik dari" mereka yang, menurut kriterianya, kurang perfect dibanding dirinya.

10. Membual

Mereka yang membual merasa "lebih rendah dibanding" orang-orang disekitarnya. Untuk mengatasi ini, mereka seringkali membual, membesar-besarkan, atau melebih-lebihkan sikap gugup seperti itu dengan suara yang keras atau memaksakan diri untuk tertawa, atau menggunakan kekayaannya untuk mengesankan orang lain.

Mereka tidak akan membiarkan orang lain tahu apa yang sesungguhnya mereka rasakan mengenai diri sendiri, dan dalam usaha untuk menyembunyikan rasa mindernya, membual untuk menipu orang lain (sehingga mereka mengira) dari melihat diri mereka seperti apa adanya.

11. Mengasihani Diri

Perasaan mengasihani diri atau gejala "malangnya diriku" adalah akibat dari ketidak-mampuan untuk mengambil kendali atas kehidupan kita. Sehingga kita harus membiarkan diri untuk berada dalam belas kasihan orang lain, situasi, dan kondisi, dan selalu merasa di desak, dengan satu atau berbagai cara.

Kita mengijinkan orang lain untuk membuat kita merasa kesal, terluka, mengkritik dan membuat kita merasa marah karena kita memiliki kepribadian yang bergantung, mengandalkan dan menyukai perhatian serta simpati.

Kita seringkali menggunakan penyakit sebagai cara untuk mengontrol orang lain karena kita sudah tahu bahwa ada kekuatan yang besar dalam memainkan rutinitas kelemahan. Saat kita menderita suatu penyakit, orang lain akan merasa kasihan dan memberikan apa yang kita inginkan.

12. Bunuh Diri

Ini adalah bentuk pengkritikan diri yang terparah. Orang yang melakukan bunuh diri itu sebenarnya tidak sedang mencoba untuk lari dari dunianya, melainkan lari dari dirinya sendiri; dirinya yang telah dia tolak dan rendahkan.

Bukannya mencari cara untuk mengatasi kondisi tersebut, yang menjadi akar dari permasalahan, mereka malah merasa terluka dan benci serta mencari cara untuk "mengakhiri semuanya." Masalah mereka, tentu saja, adalah rasa percaya diri yang rendah.