Takut Ditolak dan Dikritik
Ketakutan kedua yang kita pelajari sejak kecil, yang kemudian mempengaruhi seluruh sisa hidup kita, adalah takut terhadap penolakan atau kritikan.
Kita semua sensitif terhadap opini orang lain, terutama opini dan reaksi dari orang tua saat kita beranjak dewasa. Orang tua seringkali memanfaatkan ketakutan kita ini, sebagai sarana untuk mengontrol dan memanipulasi anak-anaknya.
Cara yang mereka lakukan adalah dengan memberikan atau menahan persetujuan dan dukungan, menurut tingkah laku anak-anaknya saat itu. Saat seorang anak melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak disukai orang tuanya, mereka segera menolak dan mengkritik anak tersebut.
Karena persetujuan dan dukungan dari orang tua itu sangat penting bagi kesehatan emosional si anak, maka si anak akan segera terpengaruh dan menarik kembali tingkah lakunya, agar bisa kembali mendapatkan cinta dan persetujuan.
Dalam waktu singkat, orang tua mulai terbiasa memanipulasi anak-anaknya dengan perlakuan "wortel dan cambuk" Mereka menggantinya dengan persetujuan dan penolakan, dengan pujian dan kritikan, untuk mengontrol dan memanipulasi tingkah laku anak-anaknya.
Sebagai seorang anak, anda masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi. Anda cuma tahu satu hal. Cinta dan persetujuan orang tua itu sangat penting bagi kesejahteraan anda. Itu adalah kunci bagi kesehatan emosional anda.
Sehingga, anda jadi belajar bahwa, "Jika anda ingin dituruti, anda harus menurut." Sejak usia dini, anda mulai terbiasa menyesuaikan tingkah laku, agar bisa mendapat persetujuan, dan menghidari penolakan, dari orang tua anda.
Persetujuan Orang Lain
Saat beranjak dewasa, anda semakin sensitif terhadap persetujuan dan penolakan orang lain, dimulai dari anggota keluarga, kemudian teman dan kerabat. Remaja, terutama, sangat sensitif terhadap opini rekan sebayanya.
Dari pada menunjukkan sikap tidak takut, spontan, terbuka, tulus, dan ekspresif, mereka mulai mengatur tingkah laku dan menyesuaikannya dengan apapun yang akan disetujui oleh rekannya saat itu.
Anak-anak tidak tahu mengapa orang tuanya bersikap seperti itu. Anak-anak hanya bisa menyimpulkan bahwa..
"Setiap kali aku melakukan sesuatu yang tidak disukai ibu atau ayah, mereka berhenti menyayangi ku. Karenanya, aku harus melakukan apapun yang membuat mereka bahagia. Aku harus menyenangkan mereka. Aku harus melakukan apapun yang mereka mau, jika aku ingin aman."
Perasaan ini menghasilkan apa yang disebut "dorongan pola kebiasaan negatif," yang dicirikan oleh kata-kata, "Aku harus!"
Sebagai orang dewasa, anak-anak yang menjadi korban dari penolakan atau kritikan destruktif, akan menjadi sangat sensitif terhadap sikap dan opini orang lain. Mereka akan terus mengatakan, "Aku harus melakukan ini dan itu."
Saat takut ditolak menjadi ekstem, dia menjadi hypersensitif terhadap opini orang lain, sehingga tidak bisa mengambil satupun keputusan, sebelum dia yakin bahwa semua orang di sekitarnya akan setuju dan mendukung keputusan tersebut.
Seperti Rusa di Depan Lampu Sorot
Situasi terburuk, yang cukup umum bagi sebagian besar orang, adalah kombinasi dari perasaan "Aku harus" tapi "Aku tidak bisa." Orang tersebut merasa dia harus melakukan sesuatu agar disetujui oleh orang yang dianggap penting dalam hidupnya
Tapi disaat bersamaan, dia takut mencoba sesuatu yang baru, hingga jadi sangat sensitif terhadap reaksi dan komentar orang sekitar. Akar penyebab dari kebiasaan negatif ini hampir selalu berasal dari "kritikan destruktif" di masa kecilnya.
Dan seringkali, kritikan destruktif itu ditemani dengan hukuman fisik. Pada kedua kasus, anak tersebut sangat cepat kehilangan spontanitas alaminya, dan menjadi sangat takut dan sensitif terhadap orang lain.
Semua jenis ketakutan yang menghalangi orang - takut rugi, miskin, malu, konyol, sakit, kehilangan cinta, meraih kesempatan, memulai sesuatu yang baru - berasal dari rasa takut terhadap kegagalan dan penolakan yang dimulai sejak kanak-kanak.