Kenali Diri Anda

Pengalaman kita dalam hidup dan persepsi kita mengenai faktor-faktor eksternal bisa mengubah perasaan kita terhadap diri sendiri. Tapi berita yang menyenangkannya adalah bahwa, kita bisa belajar untuk mengembangkan rasa percaya diri.

Dalam membangun rasa percaya diri, percobaan yang efektif akan mentargetkan pada pemikiran, citra-diri, perasaan dan tingkah laku. Menurut anda, mana yang paling baik sebagai titik awal? Bayangkan sebuah siklus yang terlihat seperti ini:

Orang tua memberikan tugas pada seorang anak, misalnya membuang sampah (tingkah laku). Saat anak tersebut berhasil, dia dipuji lalu berpikir, "Aku bisa melakukan ini; dunia ini menyenangkan" (pemikiran).

Anak tersebut merasa yakin pada dirinya, yang mengarah pada pemikiran yang lebih konstruktif misalnya, "Aku mungkin bisa melakukan hal-hal lain dan sukses." Sebagai hasilnya, anak tersebut mungkin akan mengambil alat musik untuk memainkannya (tingkah laku).

Tingkah laku tersebut akan mengarah pada pemikiran yang lebih konstruktif lagi, yang mengarah pada perasaan yang lebih yakin, dan cycle ini terus berlanjut dalam sebuah cara yang memperkuat rasa percaya diri. Bisa membayangkannya?

Saya sering menunjukkan siklus ini pada orang dewasa lalu bertanya, "Jadi, menurut anda mana yang lebih baik untuk memulai proses peningkatan rasa percaya diri, pemikiran, tingkah laku, atau perasaan?"

Orang biasanya akan merespon bahwa tingkah laku dan tingkat pemikiran adalah tempat yang terbaik untuk memulainya. Tidak ada yang salah dengan hal itu, karena dalam model siklus tidak ada jawaban yang salah.

Tapi, coba pertimbangkan berikut ini: Dimana orang tua dari bayi yang baru lahir bisa mempengaruhi saat mereka menggendong bayi untuk menyusuinya, memeluknya, atau menatap mata bayi tersebut lalu tersenyum? Apakah mereka mengajarkan bayi tersebut untuk berpikir dan bertingkah laku?

Apakah mereka mengatakan, "Aku mencintai mu karena kamu begitu pintar dan akan menjadi direktur dari suatu perusahaan besar?"Atau apakah mereka mempengaruhi perasaan bayi tersebut?

Ini adalah sebuah pertanyaan yang menarik. Biasanya, kita orang dewasa memilih untuk memulai dari pemikiran dan tingkah laku. Itu sepertinya lebih aman dan kongkret, dan pemikiran serta tingkah laku kita itu penting. Tapi menurut saya, perasaan itu juga sama pentingnya.

Sudut Pandang Orang Tibet: Kesadaran Penuh

Dalam tahun-tahun terakhir ini, telah ditemukan Meditasi Kesadaran Penuh yang berfungsi untuk memperbaiki berbagai kondisi medis dan psychologis, mulai dari penyakit kronis sampai stress, kegelisahan, depresi, gangguan tidur dan gangguan pola makan.

Meditasi ini juga digunakan untuk meningkatkan aktivitas otak di area yang berhubungan dengan kebahagiaan dan optimisme. Para praktisi kesadaran penuh mendapatkan keyakinan diri dan merasa nyaman dengan dirinya dalam menghadapi kejadian eksternal.

Bahkan, hasilnya begitu mengesankan, sehingga saat ini, meditasi kesadaran penuh telah diajarkan di pusat-pusat pendidikan medis, klinik, rumah sakit dan sekolah (termasuk sekolah hukum) di seluruh dunia.

Meditasi kesadaran penuh pertama kali diperkenalkan ke dunia medis Barat pada 1979 oleh Jon Kabat-Zinn, Ph.D., di University of Massachusetts Medical School, dan di dasarkan pada tradisi ajaran Budha Theravada.

Tradisi ini mengeksplore cara kerja pikiran dan meneliti bagaimana orang bisa menjadi lebih bahagia dan mengurangi penderitaan. Kesadaran penuh itu menghormati dan sesuai dengan berbagai tradisi lain karena tidak menganggap satu metode lebih baik atau buruk dibanding metode lain.

Dalam kata pengantar dari buku Kabat-Zinn, Full Catastrophe Living, Joan Borysenko, Ph.D., mencatat bahwa...

"kesadaran penuh itu lebih dari sekedar praktek meditasi yang bisa memberikan manfaat yang sangat besar bagi kondisi medis dan psychologis; itu juga adalah sebuah cara hidup yang mengungkapkan kelembutan dan kasih sayang yang utuh, yang terletak di dalam hati kita, bahkan dimasa-masa kesengsaan dan penderitaan yang sangat berat."

Mungkin anda sudah memperhatikan bahwa metode kesadaran penuh ini sesuai dengan konsep yang kita diskusikan pada tulisan sebelumnya.

Para guru kedamaian Tibet mengajarkan bahwa kita memiliki dua jenis pikiran, yaitu pikiran bijak dan pikian biasa. Coba perhatikan gambar dibawah ini.

Pikiran Bijak dan Pikiran Biasa

Pikiran bijak itu mewakili kebahagiaan sejati kita, yang mirip dengan inti diri. Sama seperti inti diri, pikiran bijak itu baik, bijaksana dan mengasihi—dia menginginkan kebahagiaan untuk orang lain sama banyaknya seperti untuk diri sendiri, punya selera humor, damai, simpel dan menyatu.

Pikiran bijak itu dicirikan oleh rasa pecaya dan harga diri, tapi juga rendah hati, karena dia menyadari bahwa semua manusia itu memiliki pikiran bijak. Tapi pikiran sadar menyelimuti pikiran bijak, seperti kabut, membuat kita tidak menyadari kebahagian sejati kita dan menyebabkan kita jadi jauh lebih menderita (Rinpoche 1993).

Pikiran biasa itu menghubungkan pemikiran-pemikiran yang kacau dengan perasaan negatif yang mengganggu. Saat kita mengatakan, "Aku merasa kesal (atau cemas)," berarti kita sedang terjebak di dalam pikiran biasa dan terpisah dari pikiran bijak.

Meditasi kesadaran penuh mengajarkan berbagai metode untuk menerobos pemikiran-pemikiran yang kacau dan perasaan-perasaan yang menyusahkan ini, agar bisa berada dalam kedamaian yang utuh dari pemikiran bijak.

Anak-anak kecil tampaknya tidak pernah membenci diri. Tapi saat kita semakin dewasa, kita belajar untuk terus berpikir, menghakimi, membandingkan, mengkritik, menyalahkan, terobsesi dengan kesalahan, mengevaluasi dan memerangi kehidupan ini.

Kita menuntut bahwa hidup, atau diri kita itu, harus berbeda, dan menjadi marah saat tidak mendapatkan apa yang menurut kita seharusnya kita dapatkan. Kita takut kehilangan apa yang kita miliki, dan merasa sedih saat kehilangan apa yang kita anggap dibutuhkan agar bisa bahagia.

Meditasi kesadaran penuh mengajarkan cara memisahkan diri dari pikiran biasa yang menyebabkan kita menjadi tidak bahagia, dan cara untuk berada di dalam pikiran bijak.

Saat air yang bergelombang dibiarkan menjadi tenang, dia akan menjadi jernih. Begitu juga saat kita membiarkan pikiran untuk tenang, dia akan menjadi jernih.

Dalam meditasi kesadaran penuh, sikap hati itu sangat penting. Bahkan, dalam bahasa Asia, kata untuk "pikiran" itu sama dengan kata untuk "hati." Pada saat awal mengajarkan metode ini, Jon Kabat-Zinn (1990) mengenalkannya sebagai sikap dari kesadaran penuh.

Tapi kita bisa menganggap ini sebagai "kecerdasan hati," mengingat bahwa sikap ini berada jauh di dalam, bukan hanya di pikiran. Jadi, mari kita mengeksplore hal ini, karena semua itu diperlukan untuk mencapai target emosional kita, yaitu meningkatkan rasa percaya diri dan membentuk pondasi emosional dari perjalanan kita.

Sikap-sikap Kecerdasan Hati

Sepuluh sikap kecerdasan hati, yang di adaptasi dari karya Jon Kabat-Zinn (1990), mengajarkan kita cara yang berbeda untuk menjadi seseorang, sebuah cara baru untuk menghubungkan diri dengan dunia.

1. Sabar

Untuk berkembang itu butuh waktu yang panjang. Saat menanam bibit tomat, kita tidak memarahi dan mengkritiknya karena belum juga menjadi tomat.

Dengan lembut, kita menaruhnya di tanah yang subur, dan memastikan bahwa dia akan mendapat air dan sinar matahari yang cukup. Dan saat kecambah keluar dari tanah, kita mengatakan, "Wah, dia mulai tumbuh." Kita terus merawatnya dan mendapat kepuasan dalam melakukannya.

Untuk menjadi sabar itu adalah untuk mempercayai dan tidak menyerah dalam proses pertumbuhan, tanpa menuntut dan berharap atau khawatir bahwa tanaman tersebut tidak tumbuh dengan benar. Kita biasanya tidak bisa meramalkan bagaimana dan kapan usaha kita akan menghasilkan buah.

"Kesabaran itu adalah tanaman pahit, tapi berbuah manis," begitu kata pepatah. Atau seperti pepatah lain yang mengatakan, "Seseorang harus menunggu sampai malam untuk melihat seberapa baik hari yang telah berlalu."

2. Menerima

Menerima artinya menyambut atau membuka diri. Untuk menerima berarti untuk melihat dengan jelas dan penuh kesadaran, bahwa semua kebaikan dan keburukan, penderitaan dan kesenangan, itu tidak lain adalah bagian dari kehidupan.

Juga untuk menjalani hidup tanpa memeranginya, bersikeras bahwa hal-hal harus menjadi berbeda, atau segera berusaha mengubah, memperbaiki, atau menyingkirkan kesulitan yang dihadapi.

Meski jika kita mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi kita bisa berusaha mengamati situasi dengan adil, "Apa yang sebenarnya terjadi."

Begitu kita bisa melihat situasi dengan akurat, maka kita bebas untuk melakukan apa yang perlu dilakukan, entah untuk bertindak konstruktif atau membiarkan situasi seperti apa adanya tanpa menolaknya.

Saat kita menerima tamu di rumah, dengan senang hati kita menerima mereka apa adanya. Saat kita menerima diri sendiri, kita mengalami sebuah sikap menerima yang mirip. Kita menjadi sadar akan kelemahan diri sendiri (dan mungkin bertekad memperbaikinya sehingga mungkin bisa mendapat kesenangan yang lebih besar dari diri sendiri.)

Kita juga menyadari bahwa kita tidaklah sempurna dan tidak bisa memaksa diri untuk segera menjadi sempurna. Jadi, kita menerima diri apa adanya, saat ini. Kita melakukan ini pada anak-anak, dan kita bisa belajar untuk melakukannya pada diri sendiri.

Seperti yang dikatakan oleh psycholog Carl Rogers, "Paradoks yang aneh itu adalah bahwa saat aku menerima diri ku apa adanya, maka aku bisa berubah."

Selain menerima diri, menerima itu juga berarti bahwa kita menyambut dunia seperti apa adanya. Yaitu, kita menyambut semua situasi dan perasaan yang diakibatkannya—malu, takut, penolakan, sedih, kecewa, dan lain-lain—dan membiarkannnya untuk menjadi seperti apa adanya.

Saat kita membiarkan berbagai perasaan negatif yang tidak diinginkan, kita menjadi tidak takut untuk merasakan perasaan-perasaan tersebut. Kita mengarahkan diri pada perasaan tersebut, dan bukan menjauhinya.

Dengan menyadari bahwa semua perasaan itu akan datang dan pergi, kita menjadi tenang dan sabar saat mengawasinya timbul dan tenggelan dalam iramanya sendiri, sambil mengatakan pada diri sendiri, "Apapun yang aku rasakan itu tidak mengapa; tidak mengapa untuk sekedar merasakannya."

Menerima tidak berarti pasif, pasrah atau berpuas diri. Menerima berarti memandang berbagai hal seperti ada adanya. Dan saat keputusan untuk bertindak sudah menjadi jelas, maka kita juga bertindak dengan menerima, dan tanpa memaksakan, menolak atau sejenisnya.

Saa kita melepaskan genggaman kita terhadap kontrol, kita mendapatkan rasa pengendalian diri ("Meski jika situasinya tidak juga membaik, itu tidak mengapa.") Kita menjadi lebih yakin terhadap kemampuan untuk mengendalikan perasaan yang kuat.

Saat kita merasa sakit atau tidak nyaman, biasanya kita mencoba untuk menghindari rasa sakit tersebut atau melakukan sesuatu untuk menyingkirkan sumbernya.

Dalam kasus ketidak nyaman yang disebabkan oleh faktor luar, misalnya suara radio tetangga yang bising, kita mungkin akan berusaha untuk menghindari suara bising tersebut atau meminta tetangga kita untuk mengecilkan volume suara radionya.

Tapi, untuk rasa sakit yang disebabkan dari dalam, metode jenis ini biasanya tidak efektif. Misalnya, seseorang yang takut terserang rasa panik, akan menjadi tegang dan mencoba untuk memeranginya. Ini membuat serangan rasa panik jadi semakin intens atau bertahan lebih lama.

Metode yang lebih baik adalah dengan menjadi rileks, dan membiarkan serangan panik untuk datang lalu pergi. Begitu juga dengan orang-orang yang mengalami kejadian traumatis, mungkin akan mencoba untuk menyingkirkan ingatan tersebut. Akan lebih baik jika dia menerima dan memproses ingatan tersebut.

Jika seseorang mengalami penyakit kronis, salah satu hal terburuk untuk dilakukan adalah dengan mencoba menolak dan memeranginya. Seringkali, dengan belajar untuk menyadari rasa sakit, mengawasinya datang dan pergi, bisa membantu untuk mengurangi rasa sakit.

Menolak, memerangi atau berharap hal-hal tidak seperti apa adanya, akan meningkatkan respon berperang atau menghindar, yang memperparah penderitaan.

Mencoba untuk menghindari rasa sakit dengan melarikan diri, menenangkan diri dengan obat-obatan, berbelanja, menonton TV, atau menggunakan berbagai bentuk pelarian lainnya, hanya akan menyebabkan penderitaan untuk kembali datang dalam intensitas yang lebih besar.

Dengan menyadari kesalahan atau perasaan negatif kita, dan menahannya dengan penuh kesadaran dan kasih sayang, akan mengubah cara kita berhubungan dengan penderitaan.

3. Kasih Sayang

Mungkin, sikap atau kasih sayang yang paling utama dan penting itu adalah rasa iba terhadap penderitaan orang lain, dan berhasrat untuk membantu.

Perasaan ini berhubungan dekat dengan cinta, atau mencintai kebaikan, yaitu jenis cinta universal atau tanpa syarat yang menghargai nilai dan kebutuhan semua manusia.

Dalai Lama telah mencatat bahwa di Barat, kasih sayang itu adalah sebuah sikap yang hanya diarahkan pada orang lain. Tapi di Tibet, kasih sayang itu adalah perasaan yang diarahkan kepada diri sendiri dan orang lain.

Dia menambahkan bahwa di Tibet dia tidak pernah melihat orang-orang yang merasa rendah diri ataupun depresi, karena setiap orang memberikan rasa kasih sayangnya terhadap diri sendiri dan semua orang.

Kisah kasih sayang berikut ini menceritakan dua orang bocah yang sedang berjalan menuju sebuah ladang:

Diseberang jalan, mereka melihat sebuah mantel dan sepasang sepatu yang sudah sangat jelek dan usang, dan dikejauhan mereka melihat pemiliknya sedang bekerja di ladang.

Bocah yang terkecil menyarankan mereka untuk menyembunyikan sepatu tersebut, lalu bersembunyi untuk mengawasi kebingungan diwajah si pemilik saat dia kembali.

Tapi bocah yang lebih tua, seorang anak yang baik hati, menganggap bahwa itu tidak baik. Dia mengatakan bahwa pemilik sepatu tersebut pastilah orang yang sangat miskin. Setelah mendiskusikan masalah tersebut, mereka memutuskan untuk melakukan eksprerimen lain.

Dari pada menyembunyikan sepatu tersebut, mereka menaruh sekeping uang ke dalam masing-masing sepatu, lalu bersembunyi, untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh si pemilik saat menemukan uang tersebut.

Tidak lama kemudian, pria tersebut kembali dari ladang, mengenakan mantelnya, menyelipkan salah satu kakinya ke dalam sepatu, merasakan sesuatu yang keras, mengeluarkannya, dan menemukan sekeping uang.

Rasa bingung dan kaget tampak jelas diwajahnya. Dia melihat ke arah uang itu berulangkali, memandang sekeliling tapi tidak menemukan siapapun, lalu melanjutkan untuk mengenakan sepatu berikutnya dan menjadi semakin kaget saat menemukan kepingan lainnya.

Perasaan haru menguasai dirinya lalu bersujud dan mendoa'kan orang yang telah bermurah hati padanya, sambil mengatakan bahwa istrinya sedang sakit dan tidak berdaya serta anak-anaknya tidak punya apa-apa untuk dimakan.

Setelah mendo'akan orang yang telah berbaik hati padanya, pria itu pergi, dan kedua bocah turun ke jalan, merasa senang atas peraaan bahagia yang mereka dapat sebagai hasil dari kebaikan yang mereka lakukan.

Orang bijak mengatakan bahwa setiap orang itu telah diciptakan untuk mencintai dan dicintai. Cinta menyembuhkan luka dan mempercepat proses perkembangan.

Kita mengagumi orang-orang yang menunjukkan rasa kasih sayang dan tahu betapa senangnya untuk merasakan pengalaman itu, bagi si pemberi dan penerima.

Jadi, dalam usaha kita untuk mengembangkan kecerdasan hati, kita menanamkan niat untuk memberikan kasih sayang pada semua orang, termasuk diri sendiri, untuk mencintai kebaikan saat kita berjuang mengatasi masalah, untuk memiliki niat membantu orang lain saat kita mencoba mengatasi penderitaan.