Apa itu Percaya Diri

Banyak mitos dan kesalah-pahaman mengenai rasa percaya diri. Jadi, mari kita mulai menjernihkan pemahaman kita.

Rasa percaya diri itu adalah opini yang mengapresiasi diri sendiri secara realistis. Realistis artinya kita berhadapan dengan kebenaran, menyadari semua kelebihan dan kekurangan yang kita miliki secara akurat dan jujur.

Tapi apresiasi ini mengesankan bahwa secara keseluruhan, kita merasa senang terhadap orang yang kita lihat. Bayangkan seorang teman yang sangat mengenal dan menghargai anda, karena lebih banyak tahu kebaikan anda dibanding kesalahan anda, maka anda akan tahu apresiasi seperti apa yang dimaksud.

Rasa percaya diri yang sehat itu adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya itu sama berharganya seperti orang lain, tapi tidak merasa lebih. Disatu sisi, dia merasa cukup senang untuk menjadi dirinya sendiri, dan merasa bangga karena sadar bahwa pada hakekatnya semua manusia itu sama.

Tapi disisi lain, orang yang rasa percaya dirinya sehat itu tetap rendah hati, karena menyadari bahwa semua orang itu punya kekurangan masing-masing, dan masih perlu banyak memperbaiki diri.

Orang yang rasa percaya dirinya sehat itu merasa tidak perlu menjadi arogan atau sombong, merasa lebih berharga dibanding orang lain, atau merasa lebih ahli atau lebih penting dibanding yang sebenarnya.

Percaya diri itu tidak sama dengan egosentris, asyik dengan diri sendiri, atau egois. Orang yang percaya dan yakin pada dirinya itu merasa bebas untuk menjadi dirinya sendiri. Apakah para penjahat bisa memiliki rasa percaya diri yang tinggi?

Secara teoritis itu mungkin. Tapi penelitian terbaru menemukan bahwa anak-anak yang agresif, pemberontak itu lebih mungkin untuk merasa ditolak, tidak bahagia dan tidak dicintai, serta memiliki citra diri yang negatif, dibanding anak-anak yang kurang agresif.

Jadi penting untuk membedakan penampilan luar antara keyakinan dengan ketenangan, kemantapan dan keriangan batin, yang menjadi ciri dari rasa percaya diri.

Rasa percaya diri itu juga bukan merasa puas atau terlalu yakin dengan diri sendiri, yang bisa menjadi peyebab kegagalan.

Rasa percaya diri adalah motivator yang kuat untuk bekerja keras, dan bukan cuma penting bagi orang-orang dalam budaya Barat, sebab penelitian menunjukkan bahwa rasa percaya diri itu berhubungan dengan kesehatan mental dan kebahagiaan semua orang dari kebudayaan manapun.

Pondasi Dasar dari Rasa Percaya Diri

Rasa percaya diri itu bergantung pada tiga pondasi dasar, dimana dua pondasi pertama, yaitu nilai diri dan cinta tanpa syarat, menjadi landasan bagi pondasi ketiga, pengembangan diri. Secara umum, proses perkembangan diri akan menjadi lebih efektif jika dua pondasi pertama sudah kokoh.

Pondasi Dasar 1: Nilai Diri Tanpa Syarat

Pemikiran dasarnya adalah bahwa sebagai individu, semua manusia itu punya nilai diri yang sama, tidak terbatas dan tidak berubah. Nilai diri seseorang itu tidak bisa di dapat, di kurangi ataupun dihilangkan oleh faktor eksternal apapun, misalnya cara orang memperlakukan anda, keputusan buruk yang anda buat, dan lain-lain.

Memang, bukan pesan seperti ini yang akan anda dengar di pasaran atau dalam lingkungan sosial tertentu, yang menilai seseorang menurut status sosial atau finansialnya. Tapi asumsi mengenai kesetaraan nilai diri seseorang itu bukanlah hal baru, dan itu bisa menjadi sesuatu yang cukup menggembirakan.

Bahkan orang yang paling cemerlang sekalipun, mungkin akan sulit untuk menerima konsep ini, karena mereka telah diberikan pesan bahwa nilai diri seseorang itu bisa turun karena pengaruh kinerja atau kondisinya.

Jadi, menurut saya analogi berikut ini bisa membantu. Coba bayangkan sebuah bola kristal, dimana setiap bagiannya memantulkan cahaya yang begitu indah. Bola kristal ini mewakili inti dari nilai diri setiap orang. Setiap bagian dari bola kristal ini mewakili sebuah attribut yang diperlukan untuk hidup bahagia.

Misalnya kemampuan mencintai, berpikir rasional, pengorbanan, ketekunan, keindahan dan mengalami keindahan, serta kemampuan mengambil keputusan yang tepat. Setiap bagian mungkin akan semakin berkilau dan semakin indah saat kita semakin berkembang.

Inti dari diri seseorang itu juga mungkin mirip seperti bibit. Coba lihat seorang bayi yang baru lahir. Sama seperti bibit, bayi tersebut sebenarnya sudah sempurna, karena dia sudah memiliki semua attribut yang diperlukannya untuk tumbuh dan berkembang.

Bayi tersebut sebenarnya sudah lengkap, tapi masih belum selesai, karena belum berkembang secara penuh.

Eksternal

Eksternal adalah berbagai kejadian atau kondisi luar yang bisa mengubah cara kita menilai diri sendiri, tapi itu sebenarnya tidak mengubah nilai diri kita.

Kondisi atau pengalaman eksternal tertentu bisa menyembunyikan atau menutupi inti dari nilai diri seseorang, sama seperti awan atau kabut yang menyelubungi dan menutupinya.

Mungkin karena orang tersebut telah mengalami kekerasan secara emosional, fisik atau seksual. Perlakuan seperti itu dari orang lain bisa membuatnya jadi percaya bahwa dirinya sudah rusak atau cacat, padahal inti dirinya masih tetap utuh dan bernilai.

Begitupun orang yang pernah mengalami trauma misalnya diperkosa atau disiksa, seringkali merasa hancur di dalam. Tapi dengan bantuan dari tenaga ahli yang profesional, orang tersebut bisa kembali merasa utuh atau sembuh.

Sedangkan faktor eksternal lain yang positif, akan bertindak seperti sinar matahari, yang menyinari dan membantu kita untuk merasakan kepuasan terhadap nilai diri kita. Misalnya merasa dicintai atau sukses dalam mencapai target yang penting.

Tapi faktor-faktor eksternal, entah positif ataupun negatif, itu bukanlah inti. Jika seseorang menyamakan inti dari nilai dirinya dengan investasi sahamnya (sebuah faktor eksternal), maka rasa percaya diri orang tersebut akan naik turun, sama seperti roller coaster.

Target yang ingin kita capai melalui blog ini adalah mempelajari cara memisahkan inti diri dari faktor eksternal. Lingkaran awan yang menyelubungi disekitar bola kristal (inti diri) itu menjadi terpisah dari bola kristal dan bergerak menjauhinya, mewakili fakta bahwa inti diri itu tidak tergantung pada faktor eksternal.

Faktor-faktor eksternal itu antara lain:

  • kondisi tubuh seseorang (penampilan, vitalitas dan kesehatan),
  • status ekonomi,
  • jenis kelamin,
  • ras,
  • usia,
  • pekerjaan,
  • penghargaan,
  • kesengsaraan,
  • hubungan atau rumah tangga (status perkawinan atau hubungan asmara, jumlah anak, fungsi level dalam keluarga),
  • populeritas,
  • prestasi di sekolah,
  • kesalahan,
  • moob,
  • kinerja,
  • level skill, dan
  • kemampuan untuk mengontrol berbagai kejadian.

Untuk memisahkan inti diri dari eksternal itu bisa menjadi sulit karena media massa umumnya mensugestikan bahwa seseorang itu jadi kurang berharga jika dirinya tidak berkuasa, kaya, muda dan cantik.

Seperti nasehat yang diberikan orang bijak, "Budaya yang kita miliki tidak membuat orang merasa senang pada dirinya. Dan anda harus menjadi cukup kuat untuk tidak mengikuti suatu budaya jika itu tidak bermanfaat."

Begitu kita sudah memiliki pemahaman yang jernih mengenai hakekat kesetaraan inti diri, maka kita akan terbebas dari kebutuhan untuk berkompetisi demi mendapatkan nilai diri.

Kecenderungan kita untuk menghakimi diri dan membandingkan diri dengan orang lain juga jadi berkurang. Singkatnya, kita jadi merasa lebih aman mengenai inti diri, juga pada diri sendiri.

Terkadang, orang yang sangat cemerlang sekalipun merasa sulit untuk memisahkan inti diri dari eksternal. Mereka bertanya bagaimana seseorang bisa mendapatkan nilai diri saat merasa tidak dihargai atau rendah diri.

Coba perhatikan anak kecil yang belum bisa apa-apa. Mengapa dia begitu penting bagi orang tuanya? Itu mungkin karena orang tuanya memilih untuk menghargainya. Atau mungkin karena setiap anak itu memiliki kualitas bawaan yang kita sukai (misalnya selalu ceria, senang bermain).

Meski anak-anak itu belum berpengalaman dan sembrono, tapi mereka juga punya potensi yang tak terbatas untuk mencintai, memperindah, menghibur, memperbaiki kesalahan, menjadi sabar, lembut, tekun, berkembang, dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik dengan berbagai cara.

Kita sebagai orang dewasa, seharusnya juga bisa memilih untuk lebih menghargai nilai diri dan kemampuan bawaan kita.

Saat kita melihat kembali kehidupan dimasa lalu dan mengingat semua usaha, besar maupun kecil, yang telah dilakukan untuk mensejahterakan diri dan orang lain, itu akan kembali mengingat kita bahwa sebenarnya semua orang itu berharga.

Pondasi Dasar 2: Cinta Tanpa Syarat

Psycholog Abraham Maslow mengatakan bahwa kesehatan mental itu tidak mungkin tanpa adanya rasa cinta terhadap inti diri. Anak-anak yang percaya diri itu umumnya memiliki orang tua yang mencintai mereka.

Para orang tua ini menunjukkan ketertarikan pada kehidupan anaknya, memperlakukan mereka dengan rasa hormat, mendorong dan mendukung saat mereka berjuang untuk mencapai standard yang tinggi, dan peduli pada mereka dengan menetapkan batasan-batasan yang masuk akal.

Berita baiknya adalah bahwa, meski tidak semua orang bisa beruntung mendapatkan jenis kasih sayang orang tua yang seperti ini, tapi semua orang bisa belajar untuk menjadi orang tua yang baik bagi dirinya sendiri.

Apa itu cinta? Menurut saya cinta itu:

  1. sebuah perasaan yang kita alami,
  2. sikap menginginkan yang terbaik untuk setiap orang yang kita cintai dan dalam setiap saat,
  3. sebuah keputusan dan komitmen yang dibuat setiap hari (meski jika kita tidak menyukainya), dan
  4. suatu kemampuan yang bisa kita pelajari.

Jika inti diri itu seperti sebuah bibit, maka cinta itu adalah bahan yang diperlukan agar bibit tersebut bisa tumbuh. Cinta memang tidak bisa menciptakan nilai diri (itu sudah ada). Tapi, cinta membantu kita untuk merasakan nilai diri dan menikmati proses pengembangan.

Meski kita mungkin tidak selalu bisa mendapatkan cinta dari orang lain, tapi kita selalu bisa memilih untuk mencintai diri sendiri.

Pondasi Dasar 3: Perkembangan Diri

Kita cenderung merasa lebih baik mengenai diri sendiri saat kita hidup secara konstruktif (membuat keputusan yang tepat, mengembangkan berbagai attribut yang diinginkan, dan membersihkan bagian-bagian yang kotor di sekitar inti diri.)

Itu berarti, kita mungkin bisa menganggap pondasi dasar yang ketiga ini sebagai proses penyelesaian, menghasilkan bunga, atau menempatkan cinta ke dalam aksi.

Perkembangan itu adalah arah dan proses, bukan tujuan. Berkembang tidak mengubah inti nilai diri kita, tapi itu membantu kita untuk merasakan kepuasan yang lebih besar darinya.

Inti diri bisa terus berkembang bahkan saat tubuh menua atau melemah. Seperti yang dikatakan oleh Viktor Frankl (orang yang selamat dari camp nazi) "Setiap orang bisa mendapatkan kebebasan meski tubuhnya terpenjara."

Kita berkembang saat mencoba mengangkat orang lain bersama diri sendiri, saat membentuk karakter dan kepribadian, dan saat kita menemukan berbagai cara untuk menikmati kesenangan yang menyehatkan.

Latihan: Mulailah dengan Memikirkan Akhir

Pertimbangkan beberapa point utama yang telah kita diskusikan sejauh ini:

  • Percaya diri itu adalah rasa puas yang mantap dan relatif tak tergoyahkan, berasal dari pengakuan dan penghargaan terhadap keberadaan nilai diri kita, lalu memilih untuk mencintai dan mengembangkannya.
  • Percaya diri itu tidak komparatif dan kompetitif. Kita tidak mendapatkan itu dari mengalahkan orang lain. Melainkan dari belajar mengenali dan mengalami nilai diri.
  • Percaya diri itu tidak merendahkan orang lain atau menyombongkan diri. Melainkan menganggap orang lain itu sama berharganya dengan diri sendiri.
  • Percaya diri itu bisa dibangun melalui usaha yang tekun. Proses pembangunan ini dilakukan dengan memahami, mencintai dan mengembangkan diri.

Untuk sesaat, renungkan berikut ini:

  • Bagaimana anda bisa tetap menghargai diri sendiri saat merasa tidak sempurna, diperlakukan secara keliru, atau dibandingkan dengan orang lain?
  • Apa dampak positif dari lebih menghargai diri sendiri?